Virus Korona Memicu Krisis Kesehatan Mental
Backstories

Virus Korona Memicu Krisis Kesehatan Mental

    NHK World
    Correspondent
    Pandemi virus korona merupakan krisis kesehatan publik yang besarnya tidak tertandingi. Di seluruh dunia, kapasitas rumah sakit terisi penuh dan pasokan ventilator kurang. Namun, virus tersebut juga menyebabkan kedaruratan kesehatan lainnya. Situasi yang membuat orang-orang dipaksa di rumah saja, tidak dapat bersama dengan orang yang mereka sayangi, menyebabkan peningkatan jumlah orang yang meminta bantuan karena depresi, gelisah, dan masalah mental lainnya.

    Lebih banyak orang meminta bantuan psikiater

    Seorang perempuan berusia 58 tahun, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan ia dulu suka melakukan perjalanan dan berjalan kaki jarak jauh. Namun, begitu virus korona masuk ke Jepang, bayangan terkena infeksi dan menyebarkannya ke keluarga serta teman, membuatnya sangat gelisah untuk keluar rumah.

    Hingga akhir Mei lalu, ia tidak dapat tidur. Ia mengunjungi sebuah klinik di Tokyo dan terdiagnosis mengalami depresi.

    “Jika kita mencabut pembatasan ketika pandemi masih berlangsung, setiap orang akan keluar rumah dan virus itu akan menyebar,” katanya. “Saya tidak merasa aman sampai virus itu benar-benar pergi.”

    Dr. Watanabe Shinya mengatakan lebih banyak menerima pasien sejak awal pandemi.

    Psikiaternya Dr.Watanabe Shinya, mengatakan lebih banyak menerima kunjungan pasien dengan kekhawatiran yang sama sejak pertengahan Maret. Ia mengatakan rentang usia mereka yaitu 20-an hingga 60-an tahun dan mengalami masalah dalam menyesuaikan gaya hidup baru yang mengharuskan mereka untuk di rumah saja sepanjang hari. Dalam kondisi perekonomian yang tidak pasti ini, menurut Dr. Watanabe tidak mengherankan banyak orang merasa tertekan. Ia mengatakan penting bagi mereka untuk menceritakan kekhawatirannya dan tak hanya kepada dokter.

    “Tidak semua orang yang merasa sedih dapat menerima bantuan psikiater,” katanya. “Jadi penting untuk meringankan rasa stres mereka dengan berbicara kepada seseorang di sekitarnya.”

    Lebih banyak telepon, lebih banyak pekerjaan

    Saluran siaga kesehatan mental Jepang dibanjiri dengan penelpon pada akhir-akhir ini. Layanan kesehatan mental Tokyo Mental Health Square menyediakan sesi konseling melalui media sosial untuk orang-orang di seluruh Jepang. Kelompok ini mengatakan terjadi peningkatan jumlah klien hingga 50% sejak Maret, dan saat ini rata-rata kasus per bulan mencapai 1.500.

    Banyak penelpon yang menghadapi kekhawatiran dengan masalah keuangan. Beberapa di antara mereka harus menutup usahanya, lainnya mengalami penurunan pendapatan yang drastis. Konselor itu juga memiliki tanggung jawab tambahan untuk mengarahkan penelpon ke program pinjaman dan subsidi pemerintah serta membantu mengajukan pendaftaran yang sesuai dengan situasi mereka.

    Konselor kesehatan mental memberikan sesi di media sosial dengan orang-orang di seluruh Jepang.

    Konselor butuh bantuan

    Banyak konselor kesehatan mental bekerja dari rumah dan pandemi juga merupakan masa yang berat bagi mereka. Menurut Shingyouchi Katsuyoshi, direktur Tokyo Mental Health Square, banyak konselor saat ini menderita rasa kesepian yang sama dengan pasien yang mereka bantu.

    “Kami mendapatkan lebih banyak telepon saat ini dan banyak dari klien itu yang sangat parah dengan mengungkapkan pikiran untuk bunuh diri,” jelas Shingyouchi. “Sebelumnya, konselor dapat mengurangi tekanan dengan berbicara kepada rekan kerjanya di kantor disela-sela sesi. Namun, saat ini mereka bekerja dari rumah, ini menyulitkan.”

    Untuk membantu para konselor, Shingyouchi menyelenggarakan sesi daring untuk para konselor setiap beberapa minggu sekali. Ia mengatakan menjaga kesehatan mental para konselor ini paling penting, di saat permintaan atas layanannya jauh meningkat dibandingkan yang pernah terjadi.

    Konselor kesehatan mental bertemu secara daring setiap beberapa pekan sekali untuk menceritakan kekhawatiran dan mengurangi tekanan mereka.

    Pada Mei lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres meminta negara-negara anggota untuk berkomitmen melindungi mereka yang paling rentan mengalami masalah kesehatan mental di tengah pandemi. Ia menyebutkan anak-anak yang tidak diizinkan pergi ke sekolah dan pekerja layanan kesehatan mental yang berupaya untuk menyelamatkan orang-orang dari dampak virus tersebut terhadap mental mereka.

    Penting untuk memasukkan pekerja layanan kesehatan mental dalam kelompok ini. Para pekerja ini memiliki risiko karena menangani beban kasus paling berat sekaligus berupaya untuk mengatasi kekhawatiran dan tekanan yang sama dengan klien mereka.