Dalam pidato peringatan kembalinya Okinawa ke Jepang, Perdana Menteri Kishida Fumio mengakui masalah pelik yang dihadapi warga Okinawa.
Menurut Kishida Fumio, "Bahkan 50 tahun setelah kembalinya Okinawa, warga setempat menghadapi beban yang substansial atas keberadaan pangkalan militer." Kishida menambahkan, "Pemerintah tengah mempertimbangkan dalam-dalam masalah ini dan tetap berkomitmen mengurangi beban itu."
Gubernur Okinawa Tamaki Denny sudah lama merupakan salah satu pengkritik keras atas beban yang tidak proporsional tersebut. Saat peringatan ia berpidato di dekat salah satu pangkalan.
Tamaki menyatakan, "50 tahun setelah kembalinya Okinawa ke Jepang, provinsi tersebut masih dipaksa untuk menanggung beban berlebihan atas pangkalan militer, termasuk sejumlah kecelakaan, kejahatan, dan masalah kebisingan serta polusi lingkungan."
Pertempuran Okinawa Dan Setelahnya
Perang Dunia Kedua mengubah Okinawa secara permanen.
Pertempuran Okinawa pada 1945 menyebabkan seperempat populasinya tewas. Seluruh Jepang meraih kembali kemerdekaannya dari pendudukan Sekutu pascaperang pada 1952. Namun, Okinawa tetap berada di bawah pemerintahan AS selama dua dekade berikutnya.
Provinsi ini terus menampung sejumlah besar pangkalan AS di Jepang. Beberapa pangkalan dibangun dengan menghancurkan rumah warga.
Kebencian Tumbuh
Saat Okinawa dikembalikan ke Jepang pada 1972, tuntutan warga agar pangkalan AS ditutup tak dipedulikan.
Kekhawatiran atas keamanan dan kebisingan diperparah pada 1995, saat tiga anggota militer AS memerkosa anak perempuan setempat yang berusia 12 tahun.
Penyerangan itu memicu kemarahan dan menyebabkan peningkatan seruan untuk mengurangi keberadaan pangkalan militer AS di provinsi tersebut. Aksi protes diadakan setelah insiden itu. Penyelenggara menyebut aksi diikuti sekitar 85 ribu orang.
Perjanjian Memicu Amarah
Tahun berikutnya, pemerintah Jepang dan Amerika Serikat menyetujui sebuah kesepakatan yang mencakup pengembalian lahan yang digunakan Pangkalan Udara Korps Marinir AS di Futenma. Lahan ini merupakan wilayah permukiman.
Namun, ada persyaratan yang signifikan. Pemerintah juga sepakat memindahkan pangkalan di provinsi itu, ke daerah yang berpenduduk lebih sedikit di Distrik Henoko, Kota Nago.
Keputusan tersebut memicu kemarahan. Protes digelar dekat rencana lokasi pangkalan hampir setiap hari. Pemindahan tersebut hingga kini belum terlaksana.
Status Pangkalan AS Saat Ini
Skala pangkalan militer AS di Okinawa telah berkurang sejak pengembalian 50 tahun lalu. Namun, provinsi itu masih menjadi tuan rumah bagi 31 fasilitas yang jika digabungkan lebih besar dari Washington, DC.
Pada Februari dan Maret, NHK melakukan survei terhadap warga di Okinawa.
Hasilnya, lebih dari 80 persen responden berpikir merupakan hal yang salah jika provinsi mereka harus menampung fasilitas militer AS di Jepang dalam jumlah yang tidak proporsional seperti itu.
Pandangan Pemerintah Jepang
Para pemimpin Jepang mengatakan letak Okinawa sangat penting untuk keamanan nasional.
Sebuah laporan Kementerian Pertahanan menyebut,
"Penempatan pasukan AS, termasuk Korps Marinir AS, yang mampu menjalani berbagai misi dengan kesiapan dan mobilitas tinggi di Okinawa makin memastikan efektivitas aliansi Jepang-AS, memperkuat daya gentar, dan berkontribusi besar tidak hanya terhadap keamanan Jepang, tetapi juga perdamaian dan stabilitas kawasan Indo-Pasifik."
Namun, Profesor Maedomari Hiromori dari Universitas Internasional Okinawa berpendapat memiliki begitu banyak pangkalan di satu provinsi "tidak lain adalah diskriminasi".
Ia menambahkan, "Jika pemerintah Jepang meyakini pangkalan AS dibutuhkan untuk alasan keamanan nasional, maka seluruh Jepang harus berbagi beban yang sama."
Menuju Ekonomi Mandiri
Survei NHK juga menanyakan manfaat kehadiran pangkalan AS di Okinawa terhadap kehidupan keseharian atau pekerjaan mereka. Lebih dari 70 persen responden menyatakan tak ada manfaatnya.
Pejabat Provinsi Okinawa mengatakan pemasukan terkait pangkalan, seperti gaji yang dibayarkan ke warga yang bekerja di pangkalan dan pembayaran sewa kepada pemilik lahan yang digunakan militer, menyumbang hanya enam persen dari PDB provinsi.
Pendorong utama ekonomi Okinawa adalah turisme. Maedomari mengatakan kehadiran pangkalan AS di Okinawa terbukti menjadi rintangan terhadap industri pariwisata.
Maedomari menyatakan, "Menyediakan lahan untuk aktivitas ekonomi swasta jauh lebih produktif dibanding menyediakan lahan untuk pangkalan militer."
Ia menambahkan, "Hal ini diperjelas dari lahan pangkalan militer yang telah dikembalikan di Okinawa. Hotel mewah terus dibangun di Okinawa. Pembangunan ekonomi Okinawa tengah mendapat momentum. Namun, pangkalan militer di tengah kota menghalangi pertumbuhan ekonomi."
Menurut Maedomari, "Berdasarkan sebuah perkiraan, potensi keuntungan sebesar satu triliun yen atau 7,9 miliar dolar hilang setiap tahunnya di Okinawa akibat kehadiran pangkalan militer."
Ia menyatakan pemerintah perlu mewujudkan janji menumbuhkan ekonomi Okinawa dan menghilangkan apa yang dilihatnya sebagai belenggu kehadiran militer.
Seperti yang lainnya di provinsi itu, Maedomari ingin orang-orang yang tinggal di daerah lain di Jepang untuk mendukung seruan tersebut dan memikirkan pangkalan di Okinawa sebagai masalah mereka juga.