Pengadilan di Indonesia memvonis bebas dua dari tiga polisi yang didakwa lalai atas perintah penggunaan gas air mata sebagai langkah pengendalian kerumunan yang mengakibatkan kerusuhan mematikan pada pertandingan sepak bola Oktober tahun lalu.
Aparat polisi menembakkan gas air mata setelah para pendukung tim tuan rumah yang kalah menyerbu lapangan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Hal ini memicu aksi menginjak-injak dengan panik yang menewaskan 135 orang dan lebih dari 600 lainnya luka-luka.
Tim pencari kebenaran pemerintah menyimpulkan bahwa gas air mata adalah penyebab utama tragedi tersebut. Ketiga aparat polisi itu didakwa dengan kelalaian karena menyebabkan kematian dan kerusakan fisik atas perintah penggunaan gas air mata.
Pengadilan itu pada Selasa (14/03/2023) memvonis 18 bulan penjara kepada salah seorang polisi yang menjabat sebagai komandan unit brigade mobil Malang pada saat itu.
Namun, pengadilan membebaskan dua terdakwa lainnya. Dikatakan bahwa salah seorang di antaranya tidak memerintahkan penembakan gas air mata, sementara perintah penggunaan gas air mata oleh polisi lainnya ditujukan ke tengah lapangan dan tidak mengenai penonton lainnya.
Vonis itu membuat marah kerabat para korban yang ingin melihat mereka yang bertanggung jawab atas tragedi itu mempertanggungjawabkannya.