Kabinet Jepang Loloskan UU Perluas Kriteria Kekerasan Seksual

Kabinet Jepang meloloskan draf legislasi untuk merevisi hukum pidana guna menangani kekerasan seksual dengan lebih baik.

Di bawah rancangan tersebut, tindakan kriminal “hubungan seksual yang dipaksakan” akan diubah penyebutannya menjadi “hubungan seksual tanpa persetujuan”.

Saat ini, penyerangan atau intimidasi merupakan syarat yang diharuskan dalam menentukan tindakan kriminal tersebut.

Namun, para korban menyerukan pengkajian ulang dengan berargumen bahwa rasa takut membuat korban kesulitan melawan pelaku meskipun tanpa penyerangan atau intimidasi.

Draf undang-undang itu menyebutkan secara spesifik delapan faktor yang akan menjadi dasar pemaksaan hubungan seksual.

Selain penyerangan dan intimidasi, di antaranya juga termasuk membuat korban mabuk dengan minuman beralkohol atau obat-obatan, tidak memberikan kesempatan kepada korban untuk menolak, dan menakut-nakuti atau membuat korban terkejut.

Orang-orang yang melakukan salah satu di antara delapan tindakan tersebut, serta mempersulit korban mengungkapkan ketidaksetujuannya, akan menghadapi tuntutan hubungan seksual tanpa persetujuan.

Masa kedaluwarsa kasus kriminal ini, serta “perbuatan tidak senonoh tanpa persetujuan”, akan diperpanjang sebanyak lima tahun.

Pemerintah berharap Parlemen akan mengesahkan undang-undang tersebut dalam sidang berjalan.